Tepat bulan November 2020, smartphone kesayangan saya sejak 2016, OPPO F1s, jatuh dan LCDnya pecah. Telah saya bawa ke tempat servis namun tak kunjung ada kejelasan. Sepertinya ahli servisnya juga kesusahan.
Awalnya memang bisa sembuh. LCD diganti baru. Bisa digunakan kembali. Namun beberapa jam kemudian saat saya sudah di rumah pada sore hari, layar menggelap, blackout. Dan baru sadar juga ternyata speakernya juga tak berfungsi. Digunakan untuk mendengar musik, tak ada suaranya. Bahkan untuk bertelepon pun tak bisa. Apa boleh buat, smartphone saya bawa kembali ke tempat servis mumpung garansi tiga hari katanya.
Berawal dari kejadian tersebut, saya harus menunggu sekitar tiga minggu. Saya dan Bapak mencoba mendatangi tempat servisnya berkali-kali selama tiga minggu tersebut, namun selalu pulang dengan zonk. Saat ditelepon jarang diangkat, saat kami hampiri langsung, bilangnya belum digarap, dan kami hanya ingin dikabari bisa diselamatkan atau tidak, namun tak kunjung ada konfirmasi. Setelah tiga mingguan itu, akhirnya handphone dikembalikan dengan tetap rusak, uang juga tak kembali meski ada garansi-garansi itu.
Agak kecewa sebenarnya, tapi Bapak berhasil menenangkan saya. Bapak juga membelikan saya smartphone yang baru. Ah, Bapak. (Dan apakah teman-teman tahu, dua bulan setelah ini, Bapak pergi untuk selamanya. Saya masih belum bisa bercerita banyak, mengingatnya saja saya bisa menangis.)
Beberapa hari setelah itu, sepupu saya mencoba membawa smartphone saya ke kenalannya. Dan... tak sampai seminggu, taraaaa beres dan bisa digunakan. Hanya saja, speaker tetap tak berfungsi. Namun layar normal.
Cerita Selama Tiga Minggu Tanpa Smartphone Itu...
Prolog yang terlalu panjang tadi hanya pengantar untuk apa yang saya rasakan selama memakai handphone yang bukan smartphone alias handphone jadul. Begini...
Memakai handphone jadul bapak, nokia yang bahkan tak ada fasilitas browsernya. Saya menggunakannya hanya untuk SMS dan telepon. Benar-benar seperti nostalgia. Tak butuh paket data, tak butuh tengok-tengok WA, tak sibuk scrolling sosial media, meski ada kekhawatiran ada yang menghubingi via WA sebagai aplikasi pesan singkat yang umum saat ini.
Dipaksa untuk Digital Minimalism
Seperti kata Marissa Anita, presenter kenamaan yang membahas di akun youtubenya perihal hidup minimalis yang bisa diterapkan dalam bersosial media atau berinternet. Marissa tak memiliki instagram padahal ia seorang publik figur. Dan itu mendorongnya untuk lebih hidup di real life.
Saya agak susah sebenarnya untuk menerapkan digital minimalism. Sebagai orang yang cukup aktif melihat perkembangan media sosial, promosi kreasi digital seperti tulisan blog, video youtube, dan lain-lain, hal itu menjadi tantangan tersendiri. Tapi, kondisi membuat saya bisa menerapkannya. Hidup beberapa jenak tanpa instagram, tanpa twitter, tanpa WA, dan hanya berselancar via laptop jika ingin informasi tertentu.
Rasanya?
Seperti efek meditasi. Terus terang, tidak membuat saya lebih bahagia, tetapi membuat saya kehilangan emosi negatif, beban comparing terhadap orang lain, dan perasaan cemas.
Instagram, story WA, itu salah satu sumber kecemasan bagi saya. Melihat keberhasilan orang lain yang sepantaran dengan saya bisa membuat saya takut, tak percaya diri. Takut jikalau saya akan tak seberhasil mereka.
Bukankah itu bisa menjadi motivasi untuk sukses juga? Tidak setiap orang bisa mengambilnya sebagai motivasi. Beberapa orang justru memiliki rasa cemas dan bisa merusak pikiran. Tentu kita bisa ambil langkah dengan cut hal tersebut.
Saat saya berpuasa internet kala itu, percaya atau tidak, pikiran dan perasaan terasa lebih ringan. Saya bisa berkebun dengan santai rileks tanpa memikirkan notifikasi di smartphone. Saya bisa berkegiatan dengan fokus tanpa ada keinginan membuka medsos perihal kabar apa yang tengah trending. Saya tidak sibuk stalking dan scrolling yang tanpa sadar bisa memakan waktu berjam-jam. Mental saya terasa lebih sehat.
Saya Melanjutkan Hingga Saat ini
Setelah hal itu, saya memutuskan menonaktifkan akun instagram saya. Pada awalnya saya merasa sayang sekali karena seperti banyak foto-foto bagus perjalanan saya ke tempat-tempat tertentu, dan beberapa teman yang baik ada di sana. Tapi, hidup soal memilih yang paling baik untuk diri kita, bukan?
Sudah berbulan-bulan hingga saat ini, saya berhasil tidak menggunakan instagram. Dan Facebook yang sudah lebih dari satu tahun. Kini hanya twitter, aplikasi media sosial saya. Sebab di twitter saya merasa tak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Banyak video lucu, opini-opini segar, dan teman-teman dunia maya yang mungkin sama-sama memiliki struggle hidup.
Beberapa waktu lalu ada yang berkenalan dan meminta akun IG saya untuk tag foto, tapi saya bilang kalau saya tak punya IG, adanya twitter. Kemudian ia merespon, "katanya di twitter itu tempatnya orang-orang nolife (tak punya kehidupan) gitu ya, Mbak?"
Aku hanya bisa tertawa aneh dan...
Yah, bisa jadi. Haha. Ah, siapa bilang, di twitter juga banyak orang-orang hebat yang kreatif dan tentu berpikiran terbuka. Saya banyak menemukannya di sana. Buat saya, mana yang supportive, saya suka.
Begitulah cerita digital minimalism yang perlahan saya bangun. Teman-teman masih aktif di medsos mana saja, nih?
5 Comments
ya allah, semoga bapak tenang dan ditempat terbaik disisi Allah , dijauhkan dari siksa kubur.
ReplyDeletezaman sekarang hidup tanpa gadget mati gaya mbak
aamiin, terima kasih doanya ya mas fajar
DeleteTurut berduka ut kepergian bapaknya mb.. Smg alm. husnul khotimah.
ReplyDeleteBtw, saya paling khawatir ninggalin hape di tempat service. Banyak data privatenya :)
aamiin... terima kasih atas doanya Bang Day.
Deletehehe saya tdk ada data yg berarti sih Bang Day
turut berduka mbak, semoga amal ibadah bapak di terima Allh swt
ReplyDeletememang kadang merasa kesel kalau di php tukang servis ya mbak, dibilang butuh sebenernya iya apalagi buat telpon minimal sms
kayaknya semua aktif mbak, duluuuu sebenernya aku ga terlalu aktif di fb, karena isinya kebanyakan orang kantor hahaha, agak malas sebenernya
sekarang malah disuruh ada postingan soal kantor di fb